Yak...
Beberapa menit yang lalu, saya bersama bapak-bapak sedang berdialog dalam sebuah forum rapat harian di balai desa. Ceritanya sedang membahas suatu masalah klasik yang sekarang ini semakin sulit memecahkannya, yakni bab merawat jenazah.
Yap, merawat jenazah adalah hal yang musti dilakukan ketika ada seorang anggota masyarakat yang meninggal. Tidak mungkin lah, mayatnya mandi sendiri, pakai kain kafan sendiri, gali lubang kubur sendiri terus loncat dan masuk kuburnya sendiri. Lah yang nguruk siapa? Itulah problemnya : harus ada manusia-manusia yang mau melaksanakan tugas mulia yang tidak semua orang bersedia.
Memang di setiap kelurahan atau daerah memiliki seorang perawat jenazah atau dalam bahasa kampung saya disebut "Modin". Modin inilah yang bertugas sebagai perawat, pemandi, sampai pengkafan setiap jenazah yang tercipta di kampung saya. Dan orangnya cuma satu itu.
Nah, permasalahannya adalah jika terjadi anggota masyarakat yang meninggalnya bersamaan (janjian mungkin). Nah si Modin ini jelas menjadi incaran banyak orang, orang-orang ingin jenazah keluarganya yang paling dahulu dikebumikan, si Modin yang hanya satu dan satu-satunya ini pun kelimpungan. Jika bisa membelah diri, pastilah membelah diri untuk melayani permintaan keluarga almarhum. Sering sekali prosesi layatan menjadi molor karena ulah Modin yang tak kunjung datang, tentu karena sibuk dengan mayat orang lain.
Berangkat dari permasalahan di atas, bapak-bapak pun mengusulkan untuk dibentuknya "tim kematian" (serius) di tiap-tiap masjid, yang bertugas merawati jenazah jika ada yang meninggal dalam masyarakat. Salah satu bapak menawarkan dilaksanakannya pelatihan merawat jenazah, baik jenazah laki-laki maupun perempuan. Bahkan nanti ujiannya bakal praktek langsung dengan jenazah atau mayat asli (serius, ini benar-benar diusulkan beliau beliau), entah siapa yang bakal bersedia menjadi mayatnya.
Terlepas dari itu semua, memang merawat jenazah adalah kewajiban setiap umat manusia, namun jika sudah ada yang menangani, baru terlepas kewajiban tersebut, itulah Fardhu Kifayah.
Namun jika si perawat mayat hanya satu, tentu sangat merepotkan sekali. Bayangkan saja jika yang mati setengah lusin-karena bencana mungkin, atau bagaimana jika yang meninggal perempuan? Tentunya si Modin yang notabene laki-laki tulen ini tentu bukan mahrom semua orang. Oleh karena itu memang perlu adanya perawat jenazah lain selain si Modin yang legendaris tadi.
Permasalahan mendapatkan "pemain pengganti" tadi tidaklah semudah membalik telapak kaki. Alasannya bisa :
1. Dari sumber daya manusianya yang terbatas pada pengetahuan dan pengalaman.
2. Dari keluarga korban yang "jika tidak pak Modin yang mengurus, tidak puas"
Maka dari itu perlu adanya penyuluhan agar dibentuk tim perawat, baik untuk jenazah laki-laki maupun perempuan yang disertai dengan pelatihan dan pengalaman. Untuk itulah praktek langsung perlu diadakan, agar mereka-mereka ini mempunyai jam terbang yang cukup agar dipercaya oleh masyarakat.
Satu lagi usul dari para tetua-tetua yang hadir, bahwa masjid agung konon bersedia menjadi pelatih dalam hal ini. Bahkan mereka memberi "garansi", dimana setelah pelatihan, mereka masih mau mendampingi merawat jenazah asli hingga dua kali agar dapat memberi pemahaman yang cukup bagi peserta pelatihan (kata "garansi" itu mengundang tawa yang cukup meriah dalam rapat).
Akhir kata, semua sebenarnya kembali kepada diri sendiri. Dimana ketika kewajiban memanggil kita, kita harus selalu siap. Bukankah dari SMP kita sudah diajarkan untuk itu. Benar perkataan beliau, dimana yang terpenting adalah kesempatan lalu pengalaman. Apalagi memang tuntunannya, yang memandikan atau mengkafani adalah mahromnya, seperti istri dimandikan suami atau sebaliknya.
Jadi siapkah kita menjadi perawat jenazah? Agar kita tidak hanya terpaku dan berteriak dalam hati "jenazahnya diapain nih?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar