Labels

"Cogito Ergo Sum", ucapan filsuf Perancis Rene Descartes yang berarti "aku berpikir maka aku ada" mungkin cocok dengan saya. Dan blog ini adalah wadah dari tulisan-tulisan saya yang tidak penting, berasal dari pemikiran aneh dari seorang yang bodoh.

Rabu, 24 Oktober 2012

Yang Masuk Surga


"...Kebanyakan yang masuk surga adalah orang-orang fakir miskin...", Bukhari-Muslim

Hadits di atas menjadi semacam pengingat, cambuk bagi diri kita. Bahwa harta yang kita cari di dunia ini seperti pedang bermata dua. Tak hanya ketika hidup di dunia, tapi juga setelahnya.

Semakin miskin seseorang, maka jaraknya dengan surga juga semakin dekat. Dimana hanya dengan bersabar, maka kemiskinan itu sudah menjadi suatu ibadah. Saat hari penghitungan juga, si miskin dengan cepat melengang bebas, karena tak banyak hartanya di dunia yang harus dihitung dan dipertanggung jawabkan.

Sebaliknya, semakin kaya seseorang, maka jaraknya dengan surga juga semakin jauh. Semakin kaya seseorang maka semakin terbuka kesempatan si kaya tersebut menggunakan hartanya tidak pada tempatnya. sangat mudah harta tersebut memalingkannya dari ibadah. Sementara harta yang tidak digunakan di jalan Allah akan mendatangkan dosa baginya. Pada saat hari penghitungan pun, si kaya akan menanti lama, karena banyaknya harta yang harus dihitung. Belum pertanggung jawabannya, bagaimana cara ia mendapatkannya dan untuk apa harta tersebut digunakan.

Bangsa Indonesia, setelah 65 tahun kemerdekaannya, masih saja terbelenggu dengan kesenjangan sosial. Dimana sebagian merasakan hidup seperti di surga sedang sebagian lagi merana kelaparan. Dimana fenomena antara di kaya dan si miskin sangat jelas terlihat.

Tengoklah ke televisi, di sebuah channel menampilkan glamornya kehidupan artis, mewahnya fasilitas pejabat, dan indahnya perumahan real estate yang ditawarkan pengusaha properti. Maka gantilah dengan channel lain, maka dengan sekejap hingar bingar tadi berganti suguhan yang memilukan hati, bagaimana kehidupan desa termiskin, ribuan anak busung lapar, keluarga tua renta yang membanting tulang hanya demi uang ribuan, rumah reyot yang kena gusur, hingga si sakit yang tidak punya biaya untuk berobat.


Jika tidak punya televisi, maka lihatlah di pusat perbelanjaan, di dalam fastfood, si kaya makan dengan lahapnya, dinding yang terbuat dari kaca membuatnya terlihat dari luar, sementara di luar adalah seorang tua yang duduk di emperan toko dengan dagangan mainan anak-anak yang tak jua laku. Ironis, dilematis, dan sadis.

Tidak puas? Lihatlah lebih jeli di sekitar anda. Maka akan terlihat segepok, seabrek, segudang kesenjangan sosial.

Kemudian lihatlah ke atas, ke wakil rakyat, yang seharusnya menjadi wakil kita, penyambung tangan kita, pengelola kita, pelayan kita. Kebanyakan dari mereka malah dengan sibuknya mementingkan partai, mementingkan golongan, menyejahterakan diri sendiri dan lupa dengan rakyatnya.

Mempermasalahkan renovasi gedung wakil rakyat hingga triliunan rupiah - yang paling-paling hanya digunakan untuk tidur. Sementara di seluruh pelosok Indonesia ribuan gedung sekolah nyaris rubuh.

Mempermasalahkan koalisi, partai, bagi-bagi kekuasaan, bagi-bagi kekayaan. Sementara jutaan masyarakat tidak bisa menikmati kehidupan yang layak seperti yang dijanjikan UUD 45.

Pemimpin mempermasalahkan gaji yang lebih kecil dibanding bawahannya - padahal seharusnya bukan gaji pemimpinnya yang dinaikan, tapi gaji bawahannya yang diturunkan. Sementara masyarakatnya banyak yang hampir mati karena kelaparan dan kesakitan.

Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Pejabat sibuk dengan jabatannya. Si kaya sibuk dengan kekayaannya. Si miskin pun mau tidak mau menjadi sibuk karena kemiskinannya.

Kapan seluruh elemen bangsa Indonesia ini bisa terbuka mata hatinya, terpanggil hati nuraninya? Saling memberi dan saling memperhatikan? Kapan penguasa negeri ini berhenti meributkan kekuasaannya dan menggunakan kekuasaannya dengan benar? Tak menggunakan jabatannya untuk tujuan apapun kecuali mengabdi pada masyarakat, tak hanya berpikir pencitraan hingga melupakan peran aktif secara langsung, iklhas dan tak terintervensi oleh kepentingan apapun?

Semoga bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan alam bak surga dunia ini tidak termasuk ke dalam bangsa yang tidak bisa mengelola kekayaannya. Dan semoga bangsa kaya sumber daya alam ini menjadi bagian yang sedikit dari si kaya yang bisa masuk surga. Amin.