Labels

"Cogito Ergo Sum", ucapan filsuf Perancis Rene Descartes yang berarti "aku berpikir maka aku ada" mungkin cocok dengan saya. Dan blog ini adalah wadah dari tulisan-tulisan saya yang tidak penting, berasal dari pemikiran aneh dari seorang yang bodoh.

Selasa, 13 September 2011

Round Table featuring Nino


Yoo... Kali ini saya akan membahas grup band Jepang favorit saya. Yap, sesuai judul di atas, Round Table Featuring Nino.

Mungkin banyak yang kurang familiar mengenai band ini atau lagu-lagu yang mereka bawakan. Secara mereka memang kurang terkenal di Indonesia jika dibandingkan dengan band Jepang lainnya macam L'Arc~en~Ciel yang sudah memiliki basis penggemar yang banyak atau Asian Kungfu Generation yang lagunya jadi sering kita dengar lantaran serial Naruto sangat sering diputar ulang.

Karena musik adalah soal selera, jadi mungkin banyak yang tidak suka dengan genre musik yang mereka bawakan yang sedikit bernuansa Elektronika meski tetap memegang pakem-pakem J-Pop. Terutama penggemar anime, bisa jadi pernah mendengar lagu mereka, lantaran anime terkenal macam Chobits, .hack//, atau Aria menggunakan lagu-lagu dari band ini sebagai soundtrack-nya. Saya sendiri terus terang mengenal Rotafuni (singkatan Round Table featuring Nino) lewat lagu mereka yang berjudul Let Me Be With You yang menjadi opening dari anime Chobits.

Alasan kenapa nama band ini adalah Round Table featuring Nino adalah karena pada awal mereka terbentuk pada 1997, band mereka bernama Round Table yang beranggotakan Katsutoshi Kitagawa (vokalis, gitaris, bass) dan Rieko Ito (vokalis, keyboard). Sampai saat ini pun Round Table (tanpa Nino) masih eksis, jika ditotal band Round Table telah mengeluarkan 5 buah single dan 11 album yang terakhir dirilis 2009 kemarin.

Nah, Nino sendiri baru bergabung pada tahun 2002 sebagai vokalis, sedangkan Kitagawa turun menjadi backing vokal. Round Table yang diperkuat Nino di dalamnya pun berubah nama menjadi Round Table featuring Nino. Menurut saya, adanya suara Nino yang sangat lembut membuat musikalitas Round Table menjadi lebih berwarna. Mereka menjadi lebih bisa bereksplorasi, itu jika dibandingkan dengan Round Table yang tanpa Nino. Saya sendiri terus terang kurang menyukai Round Table yang tanpa Nino.

Alasan saya menyukai band ini tentu saja karena vokal Nino yang sangat lembut itu tadi, meski musiknya yang enak didengar juga salah satu poin pentingnya. Mungkin jika anda suka band Indonesia macam Mocca atau Ten2Five, atau musik luar macam M2M atau MYMP, bisa jadi juga suka band yang satu ini, secara musik mereka hampir mirip dan sama-sama bervokalis perempuan. Di Indonesia sendiri lagu mereka memang tidak dirilis dan anime yang memuat lagu mereka juga tidak ditayangkan, tapi jika anda suka menonton acara "Jika Aku Menjadi" di sebuah stasiun tv swasta, anda akan sering mendengar intro lagu mereka yang berjudul Rainbow dijadikan musik latar.

Kembali ke soal lagu mereka yang jadi soundtrack anime, memang sebagian besar single yang Rotafuni keluarkan menjadi soundtrack anime. Karena itulah nama mereka melambung, terutama di kalangan penikmat anime (dan saya salah satu korbannya). Single yang pernah mereka keluarkan antara lain Let Me Be With You (Chobits), New World (.hack//Legend of Twilight), Sunny Side Hill (Uninhabited Planet Survive!), Grovin' Magic (Gunbuster 2), Rainbow (Aria the animation), Natsu Machi (Aria the natural), Puzzle (Welcome to the N.H.K), Koi wo Shiteru (TV Tokyo Webtama 3), Nagareboshi (Yozakura Quartet). Sedangkan untuk album, Round Table featuring Nino sampai saat ini sudah mengeluarkan 3 buah album, yakni April (2003), Nino (2006), dan Distance (2008). Selain 9 single dan 3 album tersebut, lagu mereka juga ada dalam soundtrack Clamp in Wonderland 2.

Untuk lagu favorit, saya memilih Rainbow dari album Nino. Musik Rainbow sangat simpel, mudah dicerna dan enak didengar karena minim kesan elektronika yang biasanya sangat dominan, petikan gitar akustik-nya juga sangat mantap terutama pada bagian intro, dan tentu saja vokal Nino disini adalah yang paling memukau dibanding lagu yang lain. Kemudian Let Me Be With You dari album April yang sangat mengena ketika dijadikan soundtrack anime Chobits dan Oh! Yeah! yang bersemangat dari album Distance. Selain itu saya juga suka Puzzle, Groovin' Magic, Just A Little dan Book and Bossa. Tapi kembali lagi, musik adalah masalah selera. So, see you on the next Post :)

Senin, 05 September 2011

Mencicipi Italian Full Course

This is it.. Italian Full Course ala sendiri :


Hahaha... Bercanda, tidak mungkin saya bikin pizza seindah itu, lebih tidak mungkin pula saya membuat masakan Italian Full Course seperti dalam foto tersebut. Foto itu diambil secara diam-diam oleh saya pada Jum'at lalu di sebuah resto bergaya Italia di kawasan Slamet Riyadi.

Malam itu ceritanya saya dan beberapa orang teman berburu Pizza yang se-otentik mungkin (maksudnya yang bukan ala fastfood), akhirnya tibalah kami di sebuah resto ala Italia tadi. Resto itu tidak terlalu besar tapi lumayan komplit dengan adanya bar, beberapa orang turis asing dan menu yang menyajikan wine. Untuk yang terakhir tadi, tentu saya tidak meminumnya.

Dengan semangat empat-lima, kami yang penggemar Pizza memesan seperangkat Italian Full Course, antara lain : Ravioli (semacam  pangsit basah disiram saos tomat, mungkin tidak asing bagi yang sering nonton dorama Pasta atau penggemar Master Chef) dan Kalamari Fritto (semacam cumi goreng tepung) sebagai appetizer. Untuk main course-nya tentu tidak lepas dari Pizza, yakni Meat Lover Pizza dan Quattro Pizza yang ukurannya naudzubillah sebesar pelek sepeda motor. Kemudian untuk dessert-nya saya memesan ini :


Bagi saya itu seperti kue leker yang dilipat dan diisi es krim, ada juga yang memesan Panna Cotta yakni semacam italian dessert yang terbuat dari krim, susu, dan gula yang dipadatkan dengan gelatin, juga Lemonade Ice Cream bla bla bla (saya lupa namanya karena terlalu panjang). Dari dessert orang Italia itu, saya menjadi mengerti sedikit sesuatu mengenai dunia masak-memasak, "Jika masakan anda terlalu simpel, beri saja nama yang panjang dan sulit diingat orang."

Pada awalnya saya yang ndeso bisa menguasai diri untuk menjalani table manner, namun itu hanya bertahan beberapa detik, selanjutnya meja candle light dinner di pinggir city walk itu pun berubah meriah dan heboh layaknya warung angkringan. Yah, bagaimana pun kebodohan dan kekurangan saya tidak cocok dengan makanan dan adat mewah tersebut.

Sebuah pesan moral saya tarik dari peristiwa tersebut, bahwa makanan yang enak adalah jika kita bisa menikmatinya dan tersenyum sesudahnya. Memang, kelezatan pizzanya membuat saya begitu menikmati dan terhanyut di dalamnya, namun agaknya angka yang tertera dalam bill seusai jamuan mahal tersebut juga tidak membuat saya tersenyum sesudahnya, senyum kecut mungkin. Tapi tak apalah, hitung-hitung pengalaman pernah mencicipi hidangan resto yang konon selevel dengan hidangan bintang empat. Jadi kesimpulannya, mungkin lain kali kembali lagi ke pizza fastfood :) hehehe...

Cukup sekian untuk malam ini. See you on the next post..